Masih dalam atmosfir Sumater Barat, kali ini saya akan bergeser menuju Batu Sangkar. Kota yang menjadi ibu kabupaten Tanah Datar ,saya serasa diajak untuk memasuki kehidupan masa lalu kerajaan minangkabau.Karena di kota ini tak hanya kekayaan kuliner yang saya dapatkan, tetapi juga objek-objek wisata sejarah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.
Tak hanya menikmati keindahan Istana Pagaruyung yang saat saya kunjungi sedang dibangun kembali akibat bencana kebakaran beberapa waktu yang lalu, saya juga memutuskan untuk memuaskan seluruh panca indera saya dengan berjalan – jalan di kota Batu Sangkar menggunakan bendi.
Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar Batusangkar adalah tujuan saya dalam perjalanan kali ini. Yaa, disini saya ingin mencari tahu mengenai satu kuliner yang sangat khas dan dapat menggugah selera. Berbahan dasar belut, atau balui dalam bahasa setempat, yang diolah menjadi rendang. Identitas asli masyarakat Sumatera Barat. Tak sukar mencari kediaman Uni Ad, atau akrab disaba Ne’ Ad, masyarakat lokal yang akan membantu saya belajar membuat Randang Balui. Ne’Ad memang cukup dikenal sebagai maestro masak di Sungayang. Karena kepandaian beliau mengolah masakan itulah, akhirnya Ne’Ad memutuskan untuk membuka kedai makan di rumahnya. Akan tetapi ternyata randang balui tidak saya temukan di deretan masakan dalam etalase kedai makan Be’Ad. Karena rupanya menu ini bukanlah menu makanan sehari – hari seperti menu lainnya. Randang Balui adalah salah satu makanan yang dihidangkan dalam upacara – upacara adat seperti syukuran, kelahiran, pernikahan dan sebagainya. Namun Ne’Ad bersedia mengajarkan saya bagaimana membuat Randang Balui dari tahap awal, yaitu pencarian belut. Hmmm……
Selesai mencari belut, kami segera menuju ke tempat memasak. Dan yang membuat saya semakin bergairah adalah, ternyata Ne’Ad sudah menyiapkan tempat memasak yang berada di dekat rangkiang (tempat penyimpanan beras). Istimewanya lagi Ne’Ad sudah menyiapkan beberapa Ibu – Ibu setempat untuk memasak menu ini. Seru yah. Bahan – bahan yang digunakan untuk membuat Randang Balui yaitu :
Randang Balui ini memang bukan rendang biasa. Selain menggunakan bahan – bahan dengan citarasa kuat, Randang Balui juga menggunakan puluhan jenis daun sebagai campurannya. Dan daun – daun itu tumbuh liar di kebun belakang rumah. Ada satu jenis daun yang cukup uni baik dari penamaannya maupun dari aromanya. Namanya “Daun Sikantuik-kantuik”. Memang dalam Bahasa Indonesianya, daun ini berarti daun kentut. Ajaibnya adalah pada saat daun dipetik dari rantingnya, maka aroma kentut akan tercium. Tapi jangan khawatir, karena justru aroma lezat nan istimewa-lah yang tercipta ketika daun ini dicampurkan ke dalam olahan randang balui.
Cara mengolah belutnya sendiri adalah dengan dikeringkan terlebih dahulu setelah belut dicuci bersih.
Mengolah Randang Balui tidaklah terlalu sulit. Semua bahan – bahan digiling sampai halus. Setelah bumbu halus, selanjutnya bumbu ditumis menggunakan minyak secukupnya. Setelah bumbu matang, santan pun dimasukkan. Barulah kemudian belut yang sudah dikeringkan tadi, dipotong – potong kecil, untuk selanjutnya dicampurkan ke dalam bumbu. Daun – daunan yang tadi sudah dibersihkan dari rantingnya pun ikut dicampurkan kedalam masakan. Selanjutnya tinggal menunggu masakan matang yang ditandai dengan bumbu mengering dan berubah warna menjadi kehitaman. Dibutuhkan waktu beberapa jam untuk mendapatkan rendang yang sempurna.
Sore mulai menjelang, randang balui pun sudah berubah warna dan mengering. Tandanya, sudah bisa dinikmati. Belut dalam balutan bumbu rendang khas Minang begitu gurih. Kekayaan kelezatan tak berhenti menyergap. Tak hanya kenikmatan rasa dalam setiap suapan yang saya rasakan, tapi juga keindahan kebersamaan dan keakraban bersama masyarakat Sungayang pun seolah menyempurnakan karsa. Lama’ bana.