Istana Pagaruyuang

Masih dalam atmosfir Sumater Barat, kali ini saya akan bergeser menuju Batu Sangkar. Kota yang menjadi ibu kabupaten Tanah Datar ,saya serasa diajak untuk memasuki kehidupan masa lalu kerajaan minangkabau.Karena di kota ini tak hanya kekayaan kuliner yang saya dapatkan, tetapi juga objek-objek wisata sejarah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.

Tak hanya menikmati keindahan Istana Pagaruyung yang saat saya kunjungi sedang dibangun kembali akibat bencana kebakaran beberapa waktu yang lalu, saya juga memutuskan untuk memuaskan seluruh panca indera saya dengan berjalan – jalan di kota Batu Sangkar menggunakan bendi.

Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar Batusangkar adalah tujuan saya dalam perjalanan kali ini. Yaa, disini saya ingin mencari tahu mengenai satu kuliner yang sangat khas dan dapat menggugah selera. Berbahan dasar belut, atau balui dalam bahasa setempat, yang diolah menjadi rendang. Identitas asli masyarakat Sumatera Barat. Tak sukar mencari kediaman Uni Ad, atau akrab disaba Ne’ Ad, masyarakat lokal yang akan membantu saya belajar membuat Randang Balui. Ne’Ad memang cukup dikenal sebagai maestro masak di Sungayang. Karena kepandaian beliau mengolah masakan itulah, akhirnya Ne’Ad memutuskan untuk membuka kedai makan di rumahnya. Akan tetapi ternyata randang balui tidak saya temukan di deretan masakan dalam etalase kedai makan Be’Ad. Karena rupanya menu ini bukanlah menu makanan sehari – hari seperti menu lainnya. Randang Balui adalah salah satu makanan yang dihidangkan dalam upacara – upacara adat seperti syukuran, kelahiran, pernikahan dan sebagainya. Namun Ne’Ad bersedia mengajarkan saya bagaimana membuat Randang Balui dari tahap awal, yaitu pencarian belut. Hmmm……

Selesai mencari belut, kami segera menuju ke tempat memasak. Dan yang membuat saya semakin bergairah adalah, ternyata Ne’Ad sudah menyiapkan tempat memasak yang berada di dekat rangkiang (tempat penyimpanan beras). Istimewanya lagi Ne’Ad sudah menyiapkan beberapa Ibu – Ibu setempat untuk memasak menu ini. Seru yah. Bahan – bahan yang digunakan untuk membuat Randang Balui yaitu :

Bawang Merah, Bawang Putih, Daun Salam

Jahe & Lengkuas

Ketumbar & Daun Kunyit

Santan

Randang Balui ini memang bukan rendang biasa. Selain menggunakan bahan – bahan dengan citarasa kuat, Randang Balui juga menggunakan puluhan jenis daun sebagai campurannya. Dan daun – daun itu tumbuh liar di kebun belakang rumah. Ada satu jenis daun yang cukup uni baik dari penamaannya maupun dari aromanya. Namanya “Daun Sikantuik-kantuik”. Memang dalam Bahasa Indonesianya, daun ini berarti daun kentut. Ajaibnya adalah pada saat daun dipetik dari rantingnya, maka aroma kentut akan tercium. Tapi jangan khawatir, karena justru aroma lezat nan istimewa-lah yang tercipta ketika daun ini dicampurkan ke dalam olahan randang balui.

Puluhan Jenis Dedaunan

Cara mengolah belutnya sendiri adalah dengan dikeringkan terlebih dahulu setelah belut dicuci bersih.

Belut sedang Dikeringkan

Mengolah Randang Balui tidaklah terlalu sulit. Semua bahan – bahan digiling sampai halus. Setelah bumbu halus, selanjutnya bumbu ditumis menggunakan minyak secukupnya. Setelah bumbu matang, santan pun dimasukkan. Barulah kemudian belut yang sudah dikeringkan tadi, dipotong – potong kecil, untuk selanjutnya dicampurkan ke dalam bumbu. Daun – daunan yang tadi sudah dibersihkan dari rantingnya pun ikut dicampurkan kedalam masakan. Selanjutnya tinggal menunggu masakan matang yang ditandai dengan bumbu mengering dan berubah warna menjadi kehitaman. Dibutuhkan waktu beberapa jam untuk mendapatkan rendang yang sempurna.

Sore mulai menjelang, randang balui pun sudah berubah warna dan mengering. Tandanya, sudah bisa dinikmati. Belut dalam balutan bumbu rendang khas Minang begitu gurih. Kekayaan kelezatan tak berhenti menyergap. Tak hanya kenikmatan rasa dalam setiap suapan yang saya rasakan, tapi juga keindahan kebersamaan dan keakraban bersama masyarakat Sungayang pun seolah menyempurnakan karsa. Lama’ bana.

 

Rankiang atau tempat penyimpanan beras

Propinsi Sumatera Barat, tempat bermukimnya masyarakat Minangkabau dan tidak berlebihan disebut sebagai surga yang terakhir. Propinsi ini dikaruniai dengan budaya dan keindahan alamnya yang sulit dicarikan tandingannya.

Tidak mengherankan kalau Sumatera Barat telah lama dikenal sebagai daerah tujuan wisata bagi wisatawan. Perjalanan ke Bukittinggi, suatu daerah yang beriklim sejuk dilingkungi oleh gunung-gunung dengan nagari-nagari tradisional serta tatanan kehidupan yang masih bertahan selama berabad-abad, atau berkunjung ke Padang menelusuri ibu kota propinsi dengan masakan Padang yang terkenal sampai ke Mancanegara, dan perjalanan ke daerah-daerah cagar alam yang semuanya tidak akan pernah begitu saja dilupakan wisatawan atau siapun yang pernah mengunjunginya. (sumber : sumbarprov.go.id).

Agenda perjalanan saya berikutnya adalah Kecamatan Situjuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat. Menu khas yang sangat terkenal disini adalah Pangek Cubadak Situjuah. Pangek sendiri artinya gulai yang dimasak kering. Sementara Cubadak dalam bahasa Minang berarti nangka. Cukup jelas, menu yang saya ingin ketahui kali ini berasal dari olahan nangka.

Menyisiri jalan menuju ke tempat Etek yang akan membantu mengajarkan saya memasak Pangek Cubadak ini memang sangat menyenangkan. Deretan rumah Gadang dengan masyarakatnya yang begitu ramah seolah turut menyambut saya ke kampung ini dengan hangat.

Ada yang unik dalam perjalanan saya. Saya menemukan cukup banyak kios penjualan bensin eceran yang tertata rapi, serta memilik Brand. Membaca dan melihat logonya, cukup menggelitik hati saya untuk mengabadikannya.

Tak ingin berlama – lama, langsung saja begitu saya tiba di kediaman etek, saya langsung meminta etek menjelaskan apa saja bahan – bahan yang digunakan untuk membuat Pangek Cubadak Situjuah ini, dan tentu saja bagaimana cara mengolahnya.

Bahan – bahan yang digunakan :

Cubadak atau Nangka

Cabai Merah

Bawang Merah

Bawang Putih

Lengkuas

Terasi & Garam

Batang Sereh & Daun Kunyit

Kemiri & Kunyit

Daun Ketumbar

Daun Jeruk

Santan

Selanjutnya, semua bahan ditumbuk halus. Setelah halus, bumbu tersebut dimasukkan kedalam nangka yang sudah dipotong besar.

Jangan lupa untuk memberi alas pada bagian bawah wadah dengan potongan batang pisang. Selain untuk menyempurnakan aroma, hal ini dilakukan agar cubadak tidak gosong karena api tungku.

Batang Pisang

Setelah bumbu dicampurkan dengan nangka, santan pun dituangkan. Dan tahapan berikutnya adalah menutup wadah dengan menggunakan daun pisang. Lalu diikat. Dan siap dimatangkan.

Sesuai dengan namanya, Pangek atau gulai kering, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mematangkannya hingga kering. Namun penantian saya memang sangat tidak sia – sia. Inilah hasilnya………

Pangek Cubadak Situjuah

Warna cerah sangat berimbang dengan rasa yang sangat lezat. Bumbu nan gurih pun begitu terasa dalam setiap potongan nangka. Lupakan program diet anda. Karena, it’s too good to be missed.

 

 

 

SELERA ASAL #BUKITTINGGI #DADIAH

Posted: November 3, 2011 in SELERA ASAL

Berada di bagian Barat pulau Sumatera ini memang seolah tak pernah berhenti menggoda selera saya. Jauh – jauh hari sebelum kedatangan saya, saya sudah menyiapkan beberapa “MUST-EAT-ITEM” sebagai modal perjalanan. Tentu saja tak hanya kulinernya yang saya eksplor. Pemandangan dan aktivitas sosial pun tak luput dari perhatian saya. Yaa, kearifan lokal memang bak magnet yang mampu menarik hati siapa saja yang berkunjung. Termasuk saya.

Hari ini saya kembali siap mengarungi penjelajahan rasa dan karsa. Saya ingin mengetahui lebih dalam mengenai satu penganan khas masyarakat Sumatera Barat yang sangat kaya protein nabati. Namanya Dadiah. Yaa, kuliner yang satu ini memang cukup unik. Berasal dari fermentasi susu kerbau. Dan tentu saja, selain kaya akan vitamin, Dadiah menghasilkan asam laktat, yang berperan dalam protein susu untuk menghasilkan tekstur seperti gel dan bau yang unik pada yoghurt. Yoghurt  dapat menghasilkan prebiotik yang berguna bagi pencernaan, sistem kekebalan tubuh, dan banyak manfaat lainnya.

Dibutuhkan sedikit ketrampilan khusus untuk memerah kerbau. Dan apabila susu kerbau yang keluar mulai keluar sedikit, cukup memancingnya dengan menyuruh anak kerbau menyusu di puting sang Ibu. Air susu kerbau sang Ibu pun kembali akan banyak keluar. Menarik ya.

Setelah berhasil memerah susu kerbau, sekarang saatnya memfermentasikan susu kerbau ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu segar. Yaa, proses fermentasi ini memakan waktu 1- 2 hari.

Caranya adalah susu kerbau tadi langsung dimasukkan ke dalam tabung bambu, dan selanjutnya ditutup dengan menggunakan daun pisang. Lalu tinggal didiamkan. Dan hasilnya, hasil fermentasi susu kerbau akan berbentuk seperti tofu. Wah, saya penasaran sekali ingin mencoba rasanya.

Dan ternyata masyarakat Minang punya cara tersendiri dalam mengkonsumsi Dadiah. Bawang merah mentah diiris dan ditumbuk kasar bersama cabai dan garam. Dan untuk menyempurnakan kelezatan rasa, terong yang dikukus bersama nasi pun menjadi teman makan Dadiah.

Rasanya….. Hmmm luar biasa nikmat. Cita rasa gurih dari Dadiah yang dicampur dengan irisan bawang merah, garam dan cabai, dicampur dengan terong kukus mampu memberikan suatu kolaborasi yang sempurna untuk lidah. Istimewa.

Ternyata… Tak hanya Dadiah dalam balutan olahan yang disantap bersama sepiring nasi panas, cabai giling dan terong kukus. Masyarakat Bukittinggi pun punya cara lain dalam menikmati Dadiah.

Berlokasi di Los Lambuang, Bukittinggi inilah saya menemukan Ampyang Dadiah. Atau dalam bahasa Indonesianya berarti Emping Dadiah. Dengan mengusung kata Ampyang atau Emping, namun anda tidak akan menemukan emping dalam wujud emping seperti yang sering kita jumpai dalam semangkuk Dadiah ini. Emping ini digunakan untuk menamakan “Oat” atau jenis sereal yang terbuat dari melinjo yang ditumbuk, yang menjadi bahan utama dalam sajian Ampyang Dadiah. Dan uniknya lagi, inilah wajah lain dari kuliner masyarakat Sumatera Barat yang identik dengan rasa gurih, pedas dan asin. Ampyang Dadiah adalah jenis kudapan yang bercita rasa manis nan legit.

Bahan – bahan yang digunakan sebagai campuran untuk membuat Ampyang Dadiah antara lain :

Oat yang terbuat dari melinjo yang ditumbuk

Kelapa Parut

Gula Jawa Cair

Santan

Dadiah

Selanjutnya semua bahan diatas dicampurkan kedalam sebuah mangkuk, dan siap dinikmati.

Dari melihat tampilannya saja, saya yakin, saya tak perlu menggambarkan bagaimana lezatnya Ampyang Dadiah ini. Super Istimewa.

Sumatera Barat adalah propinsi tujuan saya kali ini. Meskipun terletak di pulau yang sama dengan kampung halaman saya, Sumatera, namun ini merupakan pengalaman pertama saya mengunjungi ranah Bundo Kanduang.

Bukittinggi. Ya, daerah beriklim sejuk ini tak hanya dikenal dengan dengan tatanan kehidupan yang masih bertahan selama berabad – abad, tapi juga terkenal  dengan keelokan alam yang dilingkungi oleh gunung – gunung dengan nagari tradisional yang memanjakan segala panca indera. Terlebih masakan Padang yang memiliki cita rasa khas dan spesifik. Tentu tak salah, bila saya ingin menggali lebih dalam kuliner Minangkabau. Gulai Itiak Lado Hijau. Atau dalam bahasa Indonesianya berarti Gulai Itik Cabe Hijau. Dari namanya saja sudah bisa saya membayangkan kelezatan menu berbahan dasar itik ini. Saya pun menuju ke tempat Uni yang memang terkenal berternak itik untuk dijual. Dari hasil ngobrol saya bersama Uni, ternyata saya baru tau, untuk rasa yang lebih istimewa, itik yang digunakan haruslah itik muda jantan yang berkepala hijau.  Selain rasanya lebih lezat, daging itik jenis ini lebih empuk saat dimakan.

Tak berbeda dengan masakan Minang lainnya, kuliner gurih nan pedas ini pun mengedepankan bahan – bahan yang bercita rasa kuat. Nah berikut ini adalah bahan – bahan yang digunakan untuk membuat kuliner khas Sianok ini :

  • Cabe Hijau
  • Bawang Merah
  • Bawang Putih
  • Sepade / Jahe
  • Lengkueh / Lengkuas
  • Batang sereh
  • Daun kunyit
  • Daun jeruk
  • Damar / Kemiri
  • Garam
  • Minyak Goreng

Setelah itik dibersihkan dari bulu dan dipanggang, ternyata masyarakat Sianok punya trik tersendiri untuk dapat membuat itik lebih bersih. Itik dicuci menggunakan sabun pencuci piring dibawah kucuran air mengalir. Hal ini bertujuan agar bulu – bulu yang masih menempel dapat terlepas. Dan tentu saja menghilangkan warna hitam bekas pemanggangan. Dengan menggunakan tungku yang masih sangat tradisional, itik muda pun mulai diolah.

Proses selanjutnya adalah menghaluskan bahan – bahan. Setelah semua bahan halus, berikutnya adalah saatnya menumis. Bumbu ditumis diatas api sedang dengan minyak secukupnya. Setelah bumbu matang, saatnya itik yang sudah bersih dan dipotong – potong tadi, dimasukkan kedalam tumisan bumbu. Selanjutnya diamkan selama kurang lebih 30 menit agar bumbu meresap, daging itik empuk dan mengeluarkan minyak.

Dan inilah saat yang sudah saya tunggu – tunggu. Menikmati Gulai Itiak Lado Hijau di pondokan dengan pemandangan hijau di sejauh mata memandang. Setiap gigitan sangat saya nikmati. Karena di setiap gigitan itu, saya bisa merasakan rasa istimewa dari menu asli masyarakat Sianok.

Lebih dari sepekan lamanya saya sudah berada di Bromo. Hawa dingin seolah sudah menjadi teman. Hembusan angin berlapis debu tipis seakan semakin memberatkan  saya untuk meninggalkan alam indah ini. Senyum ceria dan tangan hangat warga yang selalu terbuka seraya membisikkan “you’re at home”. Saya benar – benar jatuh cinta.

Mentari pagi baru saja menunjukkan sinarnya. Pagi itu saya berniat ingin menikmati aktivitas masyarakat Tengger, khususnya di Desa Wonotoro. Tujuan saya kali ini adalah, pasar. Pasar. Secara harfiah sempit diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi jual beli.  Atau definisi pasar secara luas menurut W.J. Stanton adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta kemauan untuk membelanjakannya. (sumber : organisasi.org).

Begitupun yang terjadi di pasar sederhana Desa Wonotoro ini. Terletak di tengah – tengah ladang yang terbentang. Melewati tanjakan dan turunan berbatu kasar. Tak perlu membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mencapai pasar ini. Aktivitas pasar sangat terasa. Ada peladang yang sedang beristirahat pasca mengantarkan hasil panen ke pasar. Ada mobil pick up yang bergantian menaikkan hasil panen ke bak mobilnya.

Berbekal menumpang di bak mobil sayur yang membawa hasil panen ke pasar induk. saya melanjutkan perjalanan untuk ke ladang Jagung Pak Mistin. Matahari semakin tinggi. Namun tak mengurangi semangat saya untuk terus mengeksplor kekayaan Desa Wonotoro.

Ladang jagung kuning yang terhampar di depan mata saya memang begitu luas. Rupanya alam telah bekerja membantu memenuhi asupan masyarakat. Tak hanya jagung kuning, saya dan Pak Mistin juga berencana akan memetik semen serta daun ketubar yang akan dimasak dengan cara di-kulub.

Semen, berasal dari kata “persemaian” ini merupakan daun yang diambil dari sawi hijau yang baru tumbuh. Semen merupakan salah satu kulub-an kegemaran masyarakat Tengger.  Semen atau kerap disebut kiciwis ini juga sangat cocok dikonsumsi dengan nasi jagung. Selain semen, ada juga daun ketubar. Daun berbentuk lebih kecil dibanding semen ini pun tak kalah lezat dan menjadi favorit masyarakat Tengger. Disamping daun ketubar ini memiliki khasiat untuk menghancurkan penyakit kencing batu bila dikonsumsi rutin. Oleh karena itu daun ini kerap disebut daun gempur batu.

 Setelah memetik jagung, semen dan daun ketubar, kami segera menuju ke rumah Pak Mistin. Saat – saat yang tak kalah saya tunggu – tunggu pun segera tiba. Memasak makanan khas Bromo yang istimewa. Sederet menu telah disiapkan untuk dimasak pada hari itu. Antara lain : Nasi Menir, Kulub Semen dan daun ketubar, Lempu, ikan asin sisik bakar, tahu, tempe, dan yang tak ketinggalan sambal terasi tomat.

Menir adalah salah satu olahan jagung kuning. Berbentuk lebih kasar dibanding jagung untuk membuat nasi aron. Jagung kuning tidak perlu direndam, dan cukup dihancurkan kasar. Proses memasak “beras menir” ini cukup dikukus bersama dengan beras padi sampai matang. Ketika sudah mulai melunak, tambahkan air sedikit demi sedikit agar keempukan nasi menir lebih maksimal.

Sambil menunggu nasi menir matang, saya dan Bu Mistin menyiapkan menu pelengkap lainnya. Meng-kulub semen dan daun ketubar, membakar ikan asin bersama bara api tungku masak, menggoreng tahu tempe, membuat sambal terasi tomat, dan tak lupa membuat lempu atau lentho.

Lempu atau lentho ini adalah olahan lain jagung. Berbentuk akhir seperti pepes. Adapun bahan – bahan untuk membuatnya cukup sederhana, yaitu :

  • Jagung kuning yang sudah dipipil
  • Bawang putih
  • Cabe secukupnya
  • Daun pisang untuk pembungkus

Cara membuatnya adalah kesemua bahan digiling jadi satu. Setelah semuanya bercampur, adonan dibungkus ke dalam daun pisang yang sudah disiapkan. Setelah itu direbus selama kurang lebih 15 menit, Lempu khas Tengger pun siap disajikan.

Akhirnya semua olahan telah siap untuk kami santap. Tak sabar saya ingin merasakan sajian istimewa tersebut. Tak hanya makanan lezat, namun juga balutan kahangatan keluarga Tengger. Semakin meyakinkan saya untuk mengucapkan ISTIMEWA.

Allah maha baik. Memberikan arah. Menunjukkan jalan. Menemui keluargaku. Keluargaku di Bromo. Suatu hari aku akan kembali. Menemui saudaraku. Keindahan alam Bromo, dalam dekapan kabut yang tak kuasa menahan setiap hati untuk berlabuh disana.

Langit nampak cerah. Matahari belum lagi tinggi. Namun aktivitas masyarakat desa sudah terasa. Dibalut dinginnya angin yang senantiasa menyapukan kesejukan. Saya masih berada di Desa Wonotoro.

Deretan pemandangan ladang dengan segala aneka rupa tanaman begitu menambah pesona dari keindahan alam desa. Meskipun berlapis debu tebal, namun tak mampu mengurangi kesuburan tanah Bromo. Ada bermacam – macam tumbuhan yang menjadi hasil bumi utama Tengger. Bawang pre (daun bawang), kentang, kubis, jagung putih, dan masih banyak lagi jenis sayur – sayuran yang ada.

Jagung putih. Dahulu bahan makanan ini memang menjadi makanan pokok bagi masyarakat Tengger. Dengan tekstur kecil dan padat. Rasa jagung putih ini lebih manis. Para leluhur mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, selain dijadikan bahan dasar untuk membuat penganan kecil. Meskipun sekarang masyarakat Tengger sudah mengkonsumsi nasi dari beras. Masa panen jagung putih yang cukup lama yaitu sekitar 7 – 8 bulan, membuat masyarakat sedikit kesulitan untuk mengadakan jagung putih sebagai bahan pokok dalam kehidupan sehari – hari.

Menurut Pak Artomo dan beberapa informasi yang saya dapat, Nasi Aron merupakan makanan yang masih dikonsumsi hingga saat ini. Untuk dapat membuat nasi aron, ada beberapa tahapan yang harus dilewati sebelum akhirnya Jagung Putih tersebut dapat diaron menjadi nasi.

Pertama – tama, jagung putih yang sudah dipipil haruslah dikum-kum atau direndam setidaknya selama 14 hari. Semakin lama proses perendaman, maka hasilnya akan semakin baik. Karena biji jagung akan semakin empuk. Namun jangan lupa, untuk mengganti air rendaman secara berkala. Karena kalau tidak, maka akan keluar aroma kurang sedap dari rendaman jagung tersebut.

Di kediaman Pak Artomo, saya ikut serta membantu Ibu menyiapkan jagung putih agar dapat dikonsumsi menjadi makanan pokok pengganti nasi. Selanjutnya, jagung putih yang sudah ditiriskan, ditumbuk. Masyarakat Tengger menggunakan alat penumbuk yang terbuat ari batu besar, lengkap dengan alunya. Alu ini memang cukup berat. Dulu, untuk menumbuk dalam jumlah banyak, satu buah batu biasa dihaluskan secara beramai – ramai.

Setelah jagung ditumbuk halus, selanjutnya jagung diayak. Barulah setelah halus, jagung siap diaron di dalam kukusan. Ada tips menarik untuk dapat mengaron jagung putih. Tambahkan beras di bagian alas kukusan. Hal ini bertujuan agar tekstur jagung dapat merekat dan padat.

Hari ini, Bu Artomo berencana untuk membuat hidangan istimewa untuk saya. Selain nasi aron, Bu Artomo akan memasak Kulub Daun Ranti, Ikan Asin Sisik, lalapan kelandingan dan tentunya sambal terasi tomat.

Semuanya memang masih terdengar sedikit asing di telinga saya. Hal itulah yang membuat saya sangat antusias menyiapkan makanan istimewa ini. Sambil menunggu nasi aron matang, saya dan Pak Artomo berangkat ke perkebunan dekat rumah untuk memetik daun ranti dan kelandingan.

Daun ranti adalah salah satu jenis sayur lalapan yang tumbuh di tanah Tengger. Dahulu pohon Ranti begitu mudah dijumpai. Namun di masa pasca erupsi, pohon berbatang rendah ini tidak sebanyak dulu. Beruntungnya saya, karena menjumpai pohon ranti di perkebunan. Setelah mengambil pucuk daun ranti secukupnya, kami melanjutkan pencarian. Kali ini kami akan memetik kelandingan.

Hampir sama dengan daun ranti, kini pohon kelandingan tidak sebanyak dulu. Terlebih lagi, kelandingan merupakan tanaman lembab. Di musim kering seperti saat ini, sedikit sulit untuk menemukan pohon kelandingan. Kelandingan adalah jenis lalapan, masih berasal dari fam petai. Berbentuk kecil, mirip petai petai cina. Mungkin kalau boleh sedikit disamakan, kelandingan ini 80% hampir sama dengan lamtoro yang sering dijumpai.

Ternyata kelandingan ini berasal dari pohon yang cukup besar. Saya menawarkan diri untuk memanjat pohon kelandingan. Meskipun diawali dengan sedikit gemetar, karena tanah di sekitar pohon kelandingan ini cukup berundak – undak, sehingga cukup rentan tergelincir.

Setelah selesai memetik daun ranti dan kelandingan, kami kembali ke rumah. Rupanya nasi aron sudah hampir matang. Untuk teman makan nasi aron, daun ranti tadi akan di-kulub. Kulub merupakan cara memasak daun – daunan yang akan dilalap khas Tengger. Cara meng-kulub sangatlah mudah. Daun-daunan cukup direbus hingga setengah matang, agar tidak hilang vitaminnya. Dan kulub daun ranti pun siap dihidangkan.

Selain kulub daun ranti, Ibu Artomo juga telah menyiapkan ikan asin sisik. Salah satu jenis ikan asin kegemaran masyarakat Tengger. Seperti ikan asin pada umumnya, ikan ini hanya digoreng dan dinikmati panas – panas. Dan penyempurna dari menu – menu tadi, tentu saja sambal terasi tomat. Menggunakan cabe jawa atau cabe rawit merah mentah dan terasi juga tomat.

Akhirnya semua menu tersebut siap disantap. Semuanya masih dalam keadaan panas dan mengepul. Makanan panas dan pedas konon memang menjadi makanan kegemaran Tengger, terlebih di udara dingin seperti ini.

Nasi aron yang rasanya padat dan nikmat, begitu lezat dipadu dengan kulub daun ranti, ikan asin sisik serta sambal terasi tomat. Tak lupa kelandingan, berbentuk kecil namun “harum” yang dimakan mentah. Semuanya seolah mampu menghipnotis saya dalam kesempurnaan kelezatan yang tiada tara.

Mengeksplorasi keindahan alam Bromo seakan tak ada habisnya. Mulai dari segala aktivitas ritual kepercayaan masyarakat Tengger, sampai dengan hidangan khas yang merupakan peninggalan leluhur. Semua seolah menyatu menjadi satu harmonisasi seluruh panca indera bagi yang berkunjung kesana.

Berbekal referensi dari buku, internet dan kerabat yang pernah mengunjungi Bromo, hari ini saya ingin lebih dalam mengenal Tengger. Suasana sakral masih bisa saya rasakan ketika mengunjungi lautan pasir yang merupakan daya tarik Gunung Bromo yang istimewa. Membentang luas serta mengepulkan asap putih mengelilingi kawah Bromo. Menurut masyarakat setempat, sejarah terbentuknya Gunung Bromo dan gunung-gunung yang ada di sekitarnya berawal dari keberadaan Gunung Tengger (4.000 mdpl) yang merupakan gunung terbesar dan tertinggi saat itu. Kemudian terjadi letusan dahsyat yang menciptakan kaldera dengan ukuran diameter lebih dari 8 kilometer. Material vulkanik letusan gunung sekarang berubah menjadi lautan pasir, konon material tersebut pernah tertutup oleh air. Aktivitas vulkanik dengan munculnya lorong magma mengakibatkan terbentuknya gunung-gunung baru seperti Gunung Bromo, Gunung Widodaren, Gunung Batok, Gunung Watangan, Gunung Kursi dan Gunung Semeru.

Perjalanan saya lanjutkan menuju ladang, dimana mayoritas mata pencaharian masyarakat Tengger adalah bertani di ladang. Pemandangan indah seolah tak mampu menyiratkan setitik lara yang pernah menghinggapi Tengger. Ya, debu vulkanik yang seyogyanya menuai kesedihan, kini bagaikan menjadi sahabat baru bagi masyarakat Tengger.

Langkah dari kaki – kaki tua namun kuat, punggung yang membungkuk akibat membawa kayu bakar ataupun sekadar makanan sapi, sampai dengan sarung yang menjadi pemberi hangat di tubuh – tubuh itu, menjadi pemandangan yang banyak saya jumpai. Sehari – hari peladang ini memang berjalan kaki menuju ladang mereka. Jalanan yang sarat dengan tanjakan dan turunan, berbatu besar dan kering menjadi konsumsi mereka setiap hari. Namun tak sedikitpun rona sedih terpancar dari rautnya. Hampir semua orang yang berpapasan dengan saya memberikan senyuman dan bertanya “mau kemana?”. Saya jatuh cinta dengan desa ini.

Hingga akhirnya sampailah saya pada sebuah ladang kentang yang sedang dipanen. Yaa, kentang memang merupakan salah satu hasil bumi yang banyak dijumpai disini. Pak Artomo, Mas Adi dan Mba Weni yang dengan begitu hangatnya menerima saya dengan tangan terbuka. Mempersilahkan saya melihat panen kentang yang sedang mereka kerjakan. Setelah panen kentang, saya diajak ke perapian di dapur pondokan mereka. Dan disanalah dengan sigap mereka membakarkan kentang yang baru saja dipanen. Yang cukup unik disini, mereka membakar kentang dengan cara ditanam dalam bara api. Hmmm…

Sambil menunggu kentang bakar matang, Pak Artomo mengajak saya memetik beberapa bahan untuk dibuatkan minuman kesehatan. Kami segera menuju kebun yang banyak ditumbuhi tanaman liar. Ada Binahong, Pahotan (akar pakis) dan Ketirem. Kesemua bahan tersebut rasanya pahit. Namun memang memiliki khasiat kesehatan seperti menghilangkan pegal – pegal, menambah stamina dan menghilangkan perut kembung.

Cara membuat minuman kesehatan alias jamu ini sederhana saja. Semua bahan cukup direbus ke dalam air. Setelah air mendidih, air ramuan ini dapat dikonsumsi. Dan benar saja rasanya memang pahit dan getir. Saya cukup meringis dibuatnya. Tapi demi khasiat kesehatan yang akan saya dapatkan, saya habiskan jamu ketirem itu. Apalagi untuk menetralisir lidah, kentang bakar yang tadi sudah dipendam dalam bara api, sudah matang. Tidak hanya kentang bakar, Pak Artomo rupanya telah menyiapkan teman makan kentang bakar. Sambal Krangean.

Krangean adalah salah satu bahan masakan, berbentuk bola – bola kecil, berwarna hijau kehitaman. Rasanya kebas dan sedikit pahit. Hmmm… Saya jadi teringat “empan” yang berasal dari Aceh.

Namun ketika Krangean ini dibuat sambal, rasanya menjadi luar biasa, Istimewa. Nikmat dan cocok sekali dikonsumsi daerah dingin seperti ini.

Ritual lainnya yang menjadi tradisi secara turun temurun bagi masyarakat Tengger adalah upacara Ntas – ntas. Ntas – ntas adalah suatu prosesi ritual yang dilakukan oleh dukun, bertujuan untuk mengantarkan roh yang telah meninggal, kembali ke sang pemilik.

Upacara diawali dengan membacakan mantera di hadapan perwalian dari orang yang telah meninggal. Masing – masing perwalian membawa sebuah bespa, yaitu satu vas tanah liat yang berisi alang – alang, daun nyangkuh, daun bambu, bunga senikir dan tali pring.

Pada hari itu, ada 7 bespa dari 7 orang yang telah meninggal yang akan diikutsertakan dalam upacara ntas – ntas. Memang kepercayaan disini, keluarga yang ditinggalkan tidak dipaksakan harus langsung mengupacarakan mendiang dalam upacara ntas – ntas. Keluarga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengumpulkan dana untuk persiapan upacara.

Para perwalian tersebut duduk sejajar berhadapan dengan dukun yang memimpin ritual. Tak lupa sesajian yang disiapkan untuk upacara tersebut antara lain : nogosari, kue tetel, wajik, pisang, panggang ayam serta tumpeng.

Setelah mantera selesai dibacakan, bespa dibawa oleh masing – masing perwalian bersama dengan barang – barang peninggalan mendiang menuju ke suatu tempat pembakaran, atau yang biasa disebut punden / danyang. Hampir mirip dengan ritual Ngaben di Bali. Hanya saja kalau di Bali, yang dibakar adalah raga dari yang meninggal. Sementara bagi masyarakat Tengger, yang didanyang atau dibakar adalah bespa, yang dianggap sebagai perwakilan dari roh mendiang. Sementara raga mendiang, tetap dikubur sebagaimana kepercayaan lain lakukan.

Setibanya di punden desa Wonotoro, ke-7 bespa yang telah dimaterakan, dimasukkan kedalam sebuah lubang kecil tempat pembakaran. Menurut kuncen di punden tersebut, prosesi pembakaran bespa haruslah bersamaan. Tidak boleh satu – satu. Dan harus dibakar sampai menjadi abu. Barulah setelah menjadi abu, kuncen dapat meninggalkan tempat.

Selain lubang pembakaran, ada juga lubang lain yang berfungsi tempat untuk berziarah. Disinilah tempat untuk para keluarga yang ditinggalkan “nyekar”.

Tak mau menunggu lama saya ingin sekali mengetahui lebih dalam seputar penganan sesajian. Lewat Ibu  Suyanto, saya belajar bagaimana cara membuat salah satu penganan ritual yang juga menjadi makanan para leluhur pada zaman dulu. Ya, kue juadah dan pepes. Penganan berbahan dasar sangat sederhana dan mudah dijumpai itu cukup mudah untuk dipraktekkan. Bahan – bahannya antara lain :

  • Kelapa parut
  • Tepung Jagung putih yang dihaluskan
  • Tepung beras
  • Garam, serta
  • Gula

Proses memasaknya pun cukup ringkas dan praktis. Untuk Juadah, tepung jagung dan tepung beras cukup dicampur menjadi satu adonan, ditambahkan air sedikit agar adonan menempel. Dan untuk pemberi rasa gurih, diberi sedikit garam. Selanjutnya adonan siap dikukus. Simpel ya. Sementara untuk pepes, tak jauh berbeda dengan adonan Juadah. Hanya saja air yang dicampurkan kali ini memang berfungsi untuk menghaluskan adonan sampai mengental. Diberi garam untuk pemanis, dan selanjutnya dibungkus kedalam daun pisang yang sudah dikukus terlebih dahulu. Hal ini berfungsi agar daun pisang tidak patah ketika dilipat.

Tak perlu menunggu waktu yang lama untuk dapat menikmati penganan istimewa tersebut. Kurang lebih 15 menit, saya pun sudah dapat menyantap keduanya. Untuk Juadah, rasa yang begitu dominan adalah gurih. Tepung yang lembut begitu berkolaborasi dengan lidah. Mengeluarkan rasa yang begitu nikmat. Begitupun dengan pepes. Legit dari gula dan aroma wangi daun pisang yang membalut pepes, begitu menyempurnakan selera. Istimewa.

Kasada memang menjadi salah satu moment yang istimewa bagi masyarakat Tengger. Masyarakat menjalani tahapan demi tahapan ritual tersebut dengan penuh khidmat dan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi. Temperatur dingin namun kering, tak juga menurunkan antusias dalam ephoria yang ada. Tidak hanya masyarakat setempat. Para pengunjung pun begitu dimanjakan oleh keeksotikan alam Bromo.

Upacara Yadnya Kasada tak hanya selesai sampai pelarungan ongkek dan sesajian saja. Masih ada ritual yang harus dilakukan. Namanya adalah Upacara Pudjan. Upacara ini memang bukan hanya dilaksanakan sebagai “babak pamungkas” Kasada. Pudjan dilakukan sebagai prosesi penutup oleh masing – masing desa. Ritual ini bertujuan untuk mengucap syukur atas keselamatan yang telah diberikan saat ini dan di masa yang akan datang.

Tradisi turun temurun peninggalan leluhur ini memang sangat mengedapankan gotong royong. Hal ini terlihat dari masing – masing rumah yang sibuk menyiapkan penganan – penganan untuk selanjutnya diserahkan ke rumah Pak Tinggi / Lurah yang menjabat. Nantinya, penganan – penganan ini akan dibagi – bagikan ke seluruh warga desa. Ada berbagai penganan yang disiapkan warga. Antara lain : pisang goreng, donat, kue tetel, juadah, kue pasung, bolu kukus, serta gedang atau pisang. Tradisi mengantarkan penganan tersebut dinamakan Antar Turun.

Selain penganan antaran warga, di rumah Pak Tinggi juga disibukkan dengan proses menyiapkan sesajian. Yang termasuk sesajian pudjan inti adalah :

  • Sega golong
  • Jenang merah putih
  • Gedang Ayu (tempat duduk leluhur yang terdiri dari rokok daun jagung, koin piciseta, pisang emas muda dan pinang)

Selain sesajian inti, ada pula sesajian pelengkap, antara lain :

  • Tumpeng mata angin (disimbolkan dengan warna – warni tumpeng)
  • Serabi mata angin
  • Arang – arang kambang

Hal ini bertujuan untuk mengharapkan kelancaran dalam melakukan segala pekerjaan.

Kue Pasung. Saya cukup tergelitik mendengar nama kue tersebut. Melihat bentuknya saja, saya dapat menerjemahkan rasa yang dimiliki oleh salah satu resep leluhur tersebut. Berbekal keingintahuan, saya memberanikan diri untuk belajar membuat kue pasung.

Beruntungnya saya, Ibu Mistin bersedia mengajarkan saya membuat kue pasung, yang sedianya akan menjadi salah satu penganan untuk antar turun. Bahan – bahan yang digunakan untuk membuat kue pasung antara lain :

  • Kelapa parut
  • Tepung beras
  • Gula, serta
  • Air

Tahapan membuat kue berbentuk kerucut ini mudah saja. Tepung beras dicampur dengan air, lalu diberi pengembang kue secukupnya. Pengembang kue berfungsi untuk membuat adonan naik pada saat dikukus. Selanjutnya adonan didiamkan kurang lebih 1 jam. Setelah cukup mengembang, adonan diberi gula pasir secukupnya hingga rasa manis keluar, dan sebagai tahapan akhir, adonan dimasukkan kelapa parut.

Kebetulan, Ibu Mistin akan membuat 2 jenis warna kue pasung. Maka jadilah adonan kami bagi dua. Adonan yang satu diberi pewarna kue. Sementara yang satu cukup dibiarkan berwarna putih. Untuk pembungkusnya, Ibu Mistin mengajarkan saya cara membuat kerucut dari daun pisang yang direkatkan menggunakan lidi kecil. Setelah semua pembungkus jadi, kami memasukkan pembungkus daun pisang tersebut ke dalam kukusan yang sudah dibuat sedemikian rupa membentuk bulatan – bulatan kecil berukuran sama dengan pembungkus daun yang kami buat. Setelah daun pisang ditancapkan ke dalam kukusan, saatnya mengisi dengan adonan yang telah siap. Saya mengisi bungkusan demi bungkusan sehingga semua terisi adonan berwarna merah muda dan putih. Hmmm… Belum matang saja, aromanya begitu semarak memenuhi dapur kecil Bu Mistin. Sudah terbayang hasilnya seperti apa.

Kurang lebih 15 menit waktu yang dibutuhkan agar kue pasung matang dan mengembang sempurna. Dan benar saja, ketika tutup kukusan dibuka, tampak warna – warna cantik dipadu dengan hijau daun yang membungkus kue pasung. Saya tak membuang waktu untuk mencicipnya. Wooww!!! Lezaaattt sekali. Kue ini begitu lembut dan menyatu dengan lidah. Harum daun pisang seolah ikut membuat “perkenalan” saya dengan kue pasung terasa benar – benar istimewa.

Kue pasung selesai dimasak. Saatnya saya membantu ibu menyiapkan antaran, dan menuju ke rumah Pak Tinggi. Malam segera menjelang. Saatnya bersiap mengikuti ritual Pudjan.

Malam hari pun tiba. Dan ritual pun dimulai. Pak Dukun Joko memimpin upacara tersebut dengan penuh khidmat. Didampingi oleh Pak Tinggi serta perangkat desa lainnya.

Suatu kearifan lokal yang terus dipertahankan oleh masyarakat Tengger.

Bromo. Salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Timur dengan letak geografis 7°51’ – 8°11’ LS, 112°47’ – 113°10’ BT ini memang mempunyai daya tarik sendiri dalam merebut hati orang yang berkunjung kesana. Termasuk saya. Mengunjungi Bromo merupakan pengalaman baru dalam hidup saya. Segala persiapan saya lakukan terutama “seragam khusus daerah dingin”, seperti jaket, mantel, sarung tangan. Dengan temperatur udara antara 3° – 20° C, tak salah Bromo semakin memikat para “wisatawan lokal” (lagi-lagi) seperti saya. Karena, kapan lagi saya bisa menggunakan pakaian bertumpuk plus syal sampai sarung tangan kalau di Jakarta.

Saat kami menginjakkan kaki di Bromo, masyarakat Tengger sedang menyiapakan Upacara Yadnya Kasada. Yang jatuh pada tanggal 14-15 purnama di bulan Agustus. Kasada sendiri artinya adalah bulan kedua dalam penanggalan Tengger.

Ada beberapa tahapan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Tengger dalam menghadapi Kasada, seperti upacara Peodalan, pawai obor, resepsi upacara Yadnya Kasada, serta sendratari Roro Anteng dan Joko Seger.

Peodalan sendiri adalah upacara yang dilakukan untuk menyucikan Pura Luhur Poten. Dilaksanakan sebelum Upacara Yadnya Kasada. Ritual Peodalan ini dilakukan secara adat Tengger. Karena dalam ajaran Hindu, diajarkan untuk mengembangkan sesuai tradisi atau budaya lokal. Hal ini dapat terlihat dari sesaji Tengger yang berupa hasil bumi yang dipersembahkan kepada leluhur.

Selain kegiatan – kegiatan tersebut, aktivitas lain adalah mempersiapkan ongkek atau sesajian yang berupa hasil bumi Tengger. Ongkek – ongkek inilah yang nantinya akan dilarung atau dilemparkan ke kawah Gunung Bromo, yang selain sebagai ucapan syukur tentunya dengan harapan kemakmuran dan keselamatan bagi seluruh umat. Konon, hal ini dilakukan atas pengorbanan  dari Roro Anteng dan Joko Seger yang telah berjanji akan mengorbankan putera bungsu mereka Raden Kusuma, ke kawah Bromo, bila yang maha kuasa, menganugerahkan keturunan.

Bersama Pak Sutar, saya berkesempatan diajak untuk ikut langsung mengambil Jagung Putih untuk persembahan Ongkek, salah satu hasil bumi masyarakat Tengger di ladang. Ladang ini memang gersang. Semenjak erupsi yang menimpa Tengger beberapa waktu yang lalu. Namun hal ini tidak membuat masyarakat patah arang. Mereka malah menjadikan kejadian ini sebagai ujian yang mereka yakin dapat mereka lewati. Bahkan menurut mereka, kondisi tanah berpasir, tetap membuat tanaman tumbuh cukup baik.

Akses menuju ladang memang cukup menanjak dan berbelok – belok serta cukup jauh. Namun sepanjang saya melintasi jalan berbatu ini, saya melihat banyak sekali petani yang berjalan sambil membawa hasil ladang. Ternyata memang mayoritas masyarakat berjalan kaki untuk menuju ladang.

Hasil bumi yang ditata ke dalam ongkek itu terlebih dahulu disucikan dengan mantera oleh Dukun. Setelah ongkek disucikan, selanjutnya ongkek akan dibawa menuju Pura Luhur Poten. Di tempat inilah, ongkek kembali disucikan untuk kemudian tepat pukul 03.00 dini hari tanggal 15 Agustus, ongkek – ongkek akan dibawa menuju kawah gunung Bromo.

Pada saat ongkek disucikan, ada beberapa sajian yang mendampingi ongkek – ongkek tersebut. Sesajian pertama berisi antara lain : tumpeng raka, jenang merah, jenang putih, sega golong, pisang emas, gedang ayu (diyakini sebagai tempat duduk leluhur, berisi : rokok daun jagung, koin piciseta, pisang emas muda dan pinang), serta telur ayam jawa. Sesajian berikutnya berisi : pisang matang, kelapa, gula, dan beras. Sesajian inilah yang harus ada pada saat ongkek disucikan.

Kurang lebih pukul 20.00 malam, di Balai Desa setempat diadakan resepsi untuk menyambut Upacara Yadnya Kasada yang akan diselenggarakan pada dini hari nanti. Suasana cukup meriah, karena hampir semua masyarakat ikut serta meramaikan acara. Hampir sama dengan suasana pasar malam, karena banyak pedagang yang memenuhi sisi – sisi lokasi acara. Dan tentunya banyak pula jajanan yang tidak saya sia-siakan.

Akhirnya dini hari pun tiba. Saya mulai mengikuti iring-iringan masyarakat menuju Pura Luhur Poten. Udara dingin yang menusuk membuat saya harus men-dobel-kan syal yang saya pakai. Di Pura Luhur Poten pun sudah disiapkan beberapa agenda ritual. Diantaranya penyucian ongkek dan pelantikan dukun – dukun baru.

Ya, memang dukun memegang peranan penting bagi masyarakat Tengger. Karena para dukun inilah yang akan memimpin ritual – ritual atau hajatan masyarakat. Untuk dapat menjadi seorang dukun cukup melewati tahapan yang panjang. Dan tentu saja hapal mantera menjadi satu syarat penting bagi mereka. Masa bakti seorang dukun adalah semampunya. Artinya selama yang bersangkutan masih merasa mampu secara jiwa raga memimpin ritual-ritual tersebut, maka beliau masih dapat menjadi dukun.

Sekitar pukul 03,30 dini hari iring-iringan mulai bergerak menuju kawah gunung Bromo. Udara kian dingin. Namun hal itu tak meredusir semangat seluruh masyarakat untuk menuju momen puncak pada perayaan Upacara Yadnya Kasada. Jarak tempuh sekitar 1 Km untuk mencapai tangga menuju kawah, dengan kondisi lautan pasir yang cukup terjal menjadi satu tantangan tersendiri. Surya pun belum lagi menunjukkan sinarnya. Kami masih berjalan dalam kegelapan. Hal ini sengaja dilakukan, agar ketika kami mencapai puncak kawah, tepat seiring mentari bersinar.

Akhirnya, tepat ketika fajar mulai menyingsing, saya pun tiba di puncak kawah Gunung Bromo. Disana sudah ramai warga dan pengunjung yang memang ingin turut menyaksikan secara langsung proses pelarungan. Dan benar saja, akhirnya saya bisa menyaksikan langsung proses pelarungan. Termasuk melihat dengan mata kepala sendiri, banyak orang – orang yang menanti ddari bawah kawah, sesajian yang dilemparkan kesana. Jala menjadi alat bantu mereka untuk menangkap barang – barang yang dilemparkan dari puncak kawah.

Pelarungan tidak selesai sampai disitu saja. Setelah ongkek – ongkek yang dilarung tepat ketika mentari mulai menyembul, masyarakat akan melanjutkan melemparkan aneka sesaji secara pribadi. Mereka akan naik ke kawah kembali membawa serta keluarga untuk melemparkan segala jenis persembahan.

Akhirnya ritual pelarungan ongkek – ongkek pun selesai. Saya bersama tim bergegas turun kembali. Untungnya ada akses lain untuk menuruni kawah selain tangga yang cukup curam dan berpasir tebal itu. Saya mencoba turun melalui gundukan pasir tebal dengan cara merosotkan kaki. Hehee… Seru.

Lega bercampur bangga. Perasaan itu bercampur aduk ketika saya menginjakkan kaki kembali di lautan pasir. Lega karena akhirnya saya mampu melewati medan yang cukup terjal untuk dilalui. Bangga karena saya dapat menyaksikan secara langsung, ritual adat masyarakat Tengger di Bromo.

 

Special thanks to :

– Mas Bobby Kurniawan

– Mas Arif Juanda